Breaking News

Adakah Capres Kalahkan Jokowi?





INIKABAR.com - Pemilu atau pemilihan umum adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.



Pemilu serentak akan diselenggarakan pada 2019 di seluruh kota di Indonesia. Pemilu serentak ini digunakan untuk memilih DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI, Presiden dan Wakil Presiden.



Untuk memenangkan pemilu, calon kandidat harus dikenal agar banyak yang memilih. Supaya dikenal dan dipilih butuh biaya yang sering kali melebihi gaji yang akan diterimanya apabila dia menjabat. Lalu dia diharapkan tidak korupsi.



Ada calon yang melakukan bagi-bagi uang, sembako dan sebagainya agar terpilih. Karena memilih itu bersifat rahasia makanya cara-cara tersebut sedikit sekali jaminannya, yang ada malah beresiko kena OTT oleh kandidat lawan.



Setelah pemilu biasanya tercipta kubu pendukung dan kubu oposisi. Anehnya, kubu oposisi akan menjadi pihak yang paling ‘bawel’ menuntut kesempurnaan pejabat yang terpilih, namun juga berharap pejabat tersebut gagal supaya bisa gantian memimpin.



Pemilu langsung sepertinya sederhana, pilih lalu dihitung. Tapi pelaksanaannya tidak semudah itu. Jika memilih ketua kelas atau ketua RT mungkin demikian.



Namun ini tingkatannya negara. Menyusun daftar pemilih saja sudah repot dan berpotensi digugat, belum lagi distribusi logistik pemilu, proses penghitungan suara, dan sebagainya. Tapi anehnya cara yang rumit dan banyak masalah ini masih dipakai.



Perhelatan akbar pemilihan presiden (Pilpres) 2019 kurang lebih satu tahun lagi. Survei pun sudah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga untuk mengetahui potensi sosok-sosok yang akan diusung pada pilpres nanti. Elektabilitas serta popularitas sudah menjadi harga mati bagi para calon wakil pemimpin negeri ini.



Terkait pilpres ini, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah memprediksi bakal ada pasangan calon presiden baru di Pilpres 2019. Menurut dia, Pilpres 2019 tidak hanya akan diramaikan oleh Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.



Fahri memprediksi bahwa yang akan menjadi presiden di tahun 2019 mendatang berasal dari gelombang baru. "Saya percaya Pilpres 2019 itu akan ada calon baru yang ‘fresh’ dan dia menang," kata Fahri dalam sebuah kesempatan dihadapan para jurnalis.

Namun, Fahri enggan menyebutkan siapa tokoh yang dimaksud, tetapi ia memperkirakan di tahun 2019, Indonesia memiliki presiden baru yang memiliki tenaga untuk memperbaiki Indonesia. "Pokoknya dia fresh," ucapnya.



Jokowi dan Ahok

Namun, pernyataan Fahri Hamzah disangkal sejumlah pengamat politik dan media massa secara dini menyatakan Jokowi sulit untuk ditaklukkan pada Pilpres 2019. Karena modal politik yang begitu besar, yaitu dukungan partai politik yang hampir mencapai 60 persen.



Diakui, Jokowi pada saat ini memang menjadi rebutan berbagai parpol. Bahkan, baru-baru ini secara mengejutkan Ketua Umum Perindo yang juga bos MNC Group Hary Tanoe menyatakan dukungannya kepada Presiden Jokowi. Tentu saja sebagai incumbent atau capres pertahana, Jokowi jauh lebih memiliki modal politik yang begitu besar, jika kita melihat peta politik pada saat ini.

Jokowi diibaratkan calon presiden yang sulit untuk dijegal pada Pilpres 2019. Padahal jarak waktu Pilpres 2019 mendatang masih cukup jauh, yaitu berkisar satu tahun lagi.



Contohnya pada Pilkada DKI 2017 lalu. Gubernur pertahana yang ketika itu dijabat oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), diprediksi bakal melenggang dengan mulus, untuk terpilih kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.



Bahkan prediksi tersebut sudah ada semenjak tahun 2015, yang tentu saja terlalu cepat untuk membentuk persepsi publik. Bahwa Ahok adalah calon gubernur tak tertandingi pada Pilkada DKI 2017. Akan tetapi hasilnya Ahok kalah telak pada Pilkada DKI 2017 lalu. Mitos bahwa pertahana sulit untuk ditaklukkan terpatahkan oleh kekalahan Ahok.



Fenomena untuk membentuk persepi publik, bahwa Jokowi sulit untuk ditaklukkan pada Pilpres 2019, sangat mirip dengan yang terjadi pada fenomena populernya Ahok beberapa waktu lalu.

Jokowi dan Ahok memiliki kesamaan dalam hal ini, yaitu sama-sama memiliki panggung politik besar untuk menunjukkan kinerja kepada publik. Karena Ahok dan Jokowi sama-sama memegang jabatan strategis yang banyak menarik perhatian publik nasional. Ahok ketika itu menjabat Gubernur DKI Jakarta, dan Jokowi Presiden RI ke 7.



Akan tetapi Jokowi yang saat ini terbuai dengan kepecayaan diri karena didukung oleh partai-partai besar seperti lupa bahwa di waktu yang masih tersisa sekitar satu tahun itu, tentu banyak isu besar yang akan mewarnai dunia politik Indonesia kedepannya.



Nantinya akan semakin banyak isu yang berhembus, yang tentu saja akan mengubah peta politik nasional Indonesia hingga Pilpres 2019 mendatang. Battle ground akan dimulai dengan Pilkada Serentak 2018, hingga perang terakhir adalah Pilpres 2019.



Seperti kita ketahui pada Pilkada DKI 2017 lalu, muncul kejutan dengan diusungnya Anies Baswedan sebagai calon Gubernur DKI Jakarta dari PKS dan Gerindra.



Padahal nama yang santer akan diusung oleh Gerindra dan PKS adalah Yusril Ihza Mahendra. Akan tetapi dalam dunia politik setiap perkembangan bersifat dinamis. Karena politik itu sendiri adalah bagian dari ilmu sosial yang tentu berbeda dengan ilmu pasti.



Meskipun Presiden Jokowi pada saat ini memiliki modal kepuasan publik di atas angka 60 persen, namun hal tersebut tidak serta merta membuat langkah Jokowi akan mulus melenggang untuk memenangkan pertarungan Pilpres 2019.



Tidak Beranjak

Survei dari SMRC pada periode 14-20 Mei 2017, dengan komposisi head to head sama seperti pada Pilpres 2014 lalu, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, hasilnya elektabilitas Jokowi 53,7 persen dan Prabowo 37,2 persen. Adapun yang tidak menjawab 9,1 persen.



Akan tetapi angka itu tidak bisa menjadi patokan bahwa Jokowi akan semudah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan pilpres untuk kedua kalinya pada Pilpres 2009. Angka elektabilitas Jokowi yang masih sama persis ketika terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2014 lalu, adalah bukti bahwa elektabilitas Jokowi tidak beranjak naik. Padahal sebagai presiden yang saat ini tengah menjabat, seharusnya elektabilitas Jokowi bisa menanjak.



Selain elektabilitas Jokowi yang tidak menanjak atau tidak bergerak semenjak pilpres jika mengacu pada survei SMRC tersebut, hasil survei bukanlah sebuah hasil akhir dari pertarungan Pilpres 2019.

Jika kita sedikit mengulas ketika Pilkada DKI 2017 lalu. Ketika memasuki putaran kedua, mayoritas lembaga survei memprediksi Anies-Sandi akan menang tipis ketika berhadapan dengan Ahok-Djarot. Bahkan ada lembaga survei yang menempatkan Ahok-Djarot mengungguli Anies-Sandi pada putaran kedua.



Dan terbukti Anies-Sandi mematahkan beberapa hasil survei tersebut dengan kemenangan besar atas Ahok-Djarot. Dengan angka perolehan suara Anies-Sandi 57 persen. Dan Ahok-Djarot 42 persen. Sebuah angka kemenangan terbesar semenjak DKI Jakarta mengadakan pemilihan langsung.



Pilkada DKI 2017 adalah indikator pemilih, karena temuan dari beberapa lembaga survei kredibel. Bahwa banyak pemilih yang menentukan pilihan di detik terakhir, yaitu ketika menuju kotak suara ketika pencoblosan tengah berlangsung. Sehingga beberapa lembaga survei sulit untuk memetakan para pemilih golongan ini. Sebut saja golongan ini adalah "pemilih diam".



Kemenangan Donald Trump juga adalah contoh, bahwa banyak "pemilih diam" yang banyak menyembunyikan pilihannya ketika dilakukan survei. Pemilih diam ini bahkan terkadang memilih calon yang sebenarnya tidak dia dukung pada pencoblosan nanti.



Akan tetapi untuk menutupi atau mungkin malu untuk menyatakan siapa pilihan hatinya. Maka ia memilih calon yang bukan dari dalam hati nuraninya. Fenomena pemilih diam ini adalah faktor terbesar dari kemenangan Donald Trump yang pada awal diprediksi akan kalah, dan tidak dijagokan oleh mayoritas lembaga survei kredibel.



Fenomena pemilih diam bisa saja terjadi pada Pilkada Serentak 2018 atau bahkan Pilpres 2019 mendatang. Karena fenomena pemilih diam itu sendiri telah diungkapkan keberadaannya oleh beberapa lembaga survei pasca Pilkada DKI 2017. Dan tentu saja ini fenomena yang sangat unik. Terutama untuk negara sekelas Indonesia yang sedang berbenah dalam perbaikan demokrasi semenjak reformasi 1998.



Selain itu, banyaknya isu besar yang menerpa rezim pemerintahan Jokowi, juga dapat menggerus elektabilitas Jokowi secara perlahan selama satu tahun ke depan.



Seperti kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang hingga saat ini belum menemukan titik terang. Perppu Ormas yang dinilai telah menunjukkan represifnya pemerintahan Jokowi terhadap lawan politik. Serta pelemahan ekonomi dan utang Indonesia yang terus membengkak. Bahkan telah menembus angka Rp4.000 triliun.



Sehingga ketiga isu tersebut tentu akan menjadi "gorengan" yang sangat menarik bagi lawan-lawan politik Jokowi untuk menggerus elektabilitas Jokowi kedepannya.



Karena politik serta persepsi publik terhadap pemerintahan atau tokoh politik itu sangat bersifat dinamis. Apalagi di era digital saat ini, dimana arus informasi yang mengalir begitu derasnya kepada masyarakat.



Jokowi bisa saja bernasib sama dengan Ahok, karena tidak bisa mengelola isu-isu negatif yang berkembang. Serta tidak bisa menarik hati "pemilih diam" yang tidak bisa terpetakan oleh lembaga survei paling kredibel sekalipun.



Berpikir Sempit

Tak lama lagi sejumlah daerah akan menyelenggarakan pilkada serentak, tepatnya pada 27 Juni 2018 mendatang. Tahapan menuju Pilpres 2019 semakin dekat. Sebentar lagi akan ada banyak kampanye partai politik untuk mempromosikan calonnya.



Keberhasilan event besar ini menjadi pertaruhan kedewasaan demokrasi di negara ini. Karena itu, seluruh stakeholder yang terlibat harus berupaya keras menyukseskan pilkada serentak ini. Penyelenggaraan pilkada serentak memang bukan hal mudah. Karena ada 171 daerah yang secara bersamaan menyelenggarakan pemilu pada hari yang sama.



Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan pilkada di 2018. Meski banyak tantangannya, bukan hal yang mustahil untuk membuatnya berjalan sukses.



Namun situasi masyarakat Indonesia sangatlah sensitif. Salah kata sedikit saja langsung dilaporkan ke pihak berwajib. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan masyarakat Indonesia saat nanti masa kampanye. Jika keadaan masih seperti ini, mungkin saat masa kampanye yang terjadi mungkin hanya kericuhan saja.



Pola pikir masyarakat Indonesia masih belum luas, masih banyak yang berpikir secara sempit. Misalnya saja masalah politik, seharusnya tidak boleh dikaitkan dengan masalah agama.



Namun kenyataannya masih saja dikaitkan. Saat kampanye masih membawa agama. Padahal masalah agama dan politik adalah urusan yang berbeda. Keadaan masyarakat Indonesia saat ini masih panas dengan banyaknya kasus SARA dimana mana, entah apa akan ada kasus SARA yang bertambah saat masa kampanye nanti.



Hal seperti ini tentunya menjadi ‘PR’ bagi para calon yang akan berkampanye nanti. Cara berkampanye yang benar sudah seharusnya dijalankan, tidak membawa SARA yang bersifat menyinggung, sifat sportif juga diperlukan.



Sebenarnya cara pandang masyarakat Indonesia haruslah diubah. Tidak seharusnya mudah dihasut dan diprovokasi dengan dasar agama lalu menjadi radikal.

Padahal tidak ada agama satupun yang mengajarkan kekerasan. Dan lagi bukan memanfaatkan situasi politik untuk menghomogen-kan masyarakat yang beranekaragam ini. Bukankah semakin banyak perbedaan semakin indah. ***

Dudun Hamidullah

Penulis adalah wartawan senior
BACA JUGA YANG LAINNYA